Pages

12 August 2013

Cerpen Berantai

Nah ini tulisanku yang lain setelah mengobrak-abrik isi folder sekolahku dulu
Aku ingat kalau kisah ini aku buat ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Guru Bahasa Indonesiaku menyuruh kami untuk membuat sebuah cerpen berantai. Nanti kita akan menuliskannya pada selembar kertas dengan waktu sekitar lima sampai sepuluh menit lalu kertas tersebut akan diberikan ke teman disebelah kita. Jadi kita gak bakal tau akhir cerita yang kita mulai buat itu akan menjadi apa. Ketika waktunya habis, jangan lupa menuliskan nama kita di akhir kalimat yang kita buat baru diberikan ke teman sebelah.

Inti permainan ini menurutku adalah kita tidak pernah tau apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Seperti apa yang kita inginkan belum tentu akan sama dengan yang orang inginkan. Kita ingin jalannya seperti ini, tetapi bisa saja nanti tidak sesuai karena pemikiran orang berbeda-beda. Dan jadinya seperti inilah cerpen yang aku buat dengan judul, "Berakhir dengan Permusuhan."

***
Malam ini terasa sangat dingin. Aku dan Tian, pacarku, pergi ke sebuah restoran di Pekanbaru. Kami memang ingin merayakan lima bulan kami berpacaran. Setelah memesan makanan, tak sengaja mataku menatap lelaki yang duduk di meja di depanku. Kulihat ia tersenyum padaku. Membuatku menjadi terheran-heran. (MH)

Tak hanya tiga atau empat kali ku dapati dia terus melihat ke arahku.
“Ra...,” ucap Tian mengagetkanku.
Panggilan Tian pun masih tidak bisa mengalahkan rasa penasaranku terhadap cowok itu. Aku masih terus menatap dirinya. (RFM)

Tersentak dari lamunanku, aku memulai pembicaraan dengan Tian.
“Aku senang kita bisa bertahan hingga lima bulan.”
Aku mengatakan dengan penuh rasa bahagia. Namun aku sadar mimik wajahku yang karena lelaki tadi. (SR)

Lelaki yang memberi senyum manisnya itu kepadaku, sudah mulai membuatku semakin gelisah dan sangat grogi. Jujur, aku sangat suka senyum manisnya. Ia bagaikan berusaha mengalahkan ketampanan calon tunanganku. (LSA)

Semua itu terasa mimpi tapi tidak semua hal akan berjalan lurus dan tidak berbelok-belok, dari sinilah aku mulai membelokkan kisahku.
“Aku malas berpacaran dengan Tian! Apalagi menikah!” ujarku dalam hati begitu saja. (ODP)

Wajar saja, usiaku masih bisa dibilang belum cukup umur. Tamat SMA pun aku belum, usiaku masih 17 tahun. Tapi aku sudah mau dinikahi oleh Tengku Tian oleh orangtuaku. Anak dari ... (MI) ... 

kesultanan yang ada di negeri seberang. Aku sadar Tian memang tampan, bergelimang dengan harta, dan populer. Tapi tetap saja aku lebih suka memperhatikan lelaki di depanku. Makanan pun datang dan Tian mulai menyantap makanannya, namun tidak denganku. Aku melirik ke arah lelaki tadi lalu tersenyum. Sepertinya lelaki itu sadar, lelaki itu lalu mengeluarkan kertas dan memberikannya pada pelayan. Pelayan itu lalu mendatangiku dan berkata, “Mbak, ini ada kertas dari Mas itu.” Aku bingung dan buru-buru melihat kertas itu. Aku kaget, lelaki tadi malah memberikan nomor HP nya padaku. (AN)

“Uhuk, uhuk!” aku tersedak. Tian menyadari itu, “Kamu kenapa?” tanya Tian.
“Aku nggak papa kok,” dustaku sambil menyembunyikan kertas tadi.
“Oo ... Oya, jadi kapan kita akan tunangan?” ucap Tian yang membuatku kaget setengah mati. Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak aku harapkan. (DDP)

“Hmm... Gimana ya... Menurutku lima bulan waktu yang cepat untuk bertunangan. Apalagi aku masih 17 tahun! Aku belum kuliah. Maaf...,” ucapku memohon.
“Ooh ... Jadi kamu ngerasain hal yang sama? Aku juga sih. Kemarin aku ketemu Manihira, dia lebih cantik dari kamu,” jawabnya enteng. Aku tidak menyangka dia menjawab seperti itu. (FIR)

“Hah?? Manihira?? Oh. Yaudah, selamat bersenang-senang aja deh kamu sama dia.” ucapku dingin.
Setelah meneguk habis jus jagungku, kulanjutkan ucapanku, “Oh iya, asal kamu tau. Aku juga udah nemuin seseorang yang lebih perhatian daripada kamu.”
“Oh, bagus dong. Selamat aja deh buat pengganti aku itu. Berarti kamu nggak bakal nangis tiap hari gara-gara kehilangan aku.” ucapnya dengan senyum meremehkan.

Aku melotot mendengar perkataannya, dengan nada mengejek aku berkata, “Yaudah, aku pulang dulu. Daah, Tuan Tian yang terhormat.”
Aku mengambil tas dan menghampiri lelaki manis itu. Untung saja aku masih sempat mengirim sms padanya untuk mengantarku pulang. Yang tidak kusangka, ia mau mengantarku pulang.
Sambil menggandeng tangannya, aku berkata pada Tian dengan senyum sinis, “Oh iya. Aku lupa. Lain kali kalo mau boong yang masuk akal dong! Mana ada Manihira disini! Yang ada dia lagi dikurung di negeri seberang sana. Hahahaha! Mau boong itu aja kok nggak bisa.”

Tian hanya bisa menahan emosinya yang meluap menatapku melenggang pergi. (MH)
Share on: Facebook Twitter Google+ Linkedin

0 comments:

Post a Comment